BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pasca kemerdekaan bangsa Indonesia
pada tanggal 17 agustus 1945 perjuangan bangsa Indonesia belum selesai dan
sangat berat sebab menghadapi dua musuh dalam perjuangan di satu sisi harus
berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman sekutu dan NICA. Sementara di
sisi lain harus menghadapi tindakan makar dari gerakan separatis mereka menikam
dari belakang, di saat bangsa membutuhkan kekuatan untuk mempertahankan
kemerdekaan. Akan tetapi ada beberapa golongan yang tidak setuju dengan
pemerintahan tersebut sehingga mereka melakukan pemberontakan seperti peristiwa
Madiun/PKI,DI/TII, G 30 S/PKI dan konflik-konflik internal lainnya. Peristiwa
Madiun/PKI pemberontakan ini terjadi pada tahun 1948 ini merupakan penghianatan
terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan belanda yang berupaya
menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia, pemimpin pemberontakan ini
diantaranya adalah Amir syarifuddin dan Musso.
Amir syarifuddin adalah mantan
perdana mentri dan yang menandatangani perjanjian Renville ia merasa kecewa
karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada
tanggal 28 juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun sedangkan Musso
adalah tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1926 setelah gagal ia melarikan diri.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana dampak dari persoalan hubungan pusat
dan daerah?
2.
Bagaimana persaingan ideologi pergolakan sosial
politik nasional dan daerah sampai awal tahun 1960-an?
3.
Bagaimana peristiwa PKI di madiun dan
penangulangan konflik internal?
4.
Bagaimana peristiwa DI/TII dan cara
penanggulangannya?
5.
Bagaimana keadaan politik, ekonomi, sosial,
budaya, sebelum terjadinya G 30S PKI?
6.
Bagaimana peristiwa G 30S PKI dan cara penanggulangannya?
C.
Tujuan masalah
1.
Mengetahui dampak dari persoalan hubungan pusat
dan daerah.
2.
Mengetahui persaingan ideologi pergolakan sosial
politik nasional dan daerah sampai awal tahun 1960-an.
3.
Mengetahui
peristiwa PKI di madiun dan penangulangan konflik internal.
4.
Mengetahui
peristiwa DI/TII dan cara penanggulangannya.
5.
Mengetahui
keadaan politik, ekonomi, sosial, budaya, sebelum terjadinya G 30S PKI.
6.
Mengetahui peristiwa G 30S PKI dan cara penanggulangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak
Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah
Kabinet Ali
Sastroamidjojo mengeluarkan Undang Undang No. 1 tahun 1957 yang mengatur
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, dimana didalamnya diatur pembagian
kekuasaan dan keuangan pusat dengan daerah. Pada tanggal 9 April 1957 kabinet
karya perdana mentri Djuanda menggantikan kabinet Ali Sastroadmijojo II. Kabinet
ini secara teoritis bersifat non partai, namun pada hakikatnya kabinet ini
merupakan koalisi antara PNI dan NU. Pada bulan Mei 1957
dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri dari 41 wakil golongan fungsional pemuda,
kaum petani, kaum buruh, kaum wanita, para cendekiawan, pemuka agama, kelompok-kelompok
daerah dan lain-lain di tambah beberapa anggota ex officio. Dewan Nasional ini
langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno, sedangkan pelaksana harian adalah
wakil ketuanya Ruslan Abdulgani. Kalangan militer berusaha menjamin bahwa
cara-cara baru yang bersandar pada golongan golongan fungsional yang
berafiliasi dengan partai-partai. Kabinet menjalin hubungan dengan dewan-
dewan militer daerah yang telah mengambil alih kekuasaan di daerah daerahnya,
bahkan memberi mereka beberapa dana dengan kedok pembangunan daerah.[1]
Pada
tanggal 10 – 14 September 1957 Kabinet Djuanda mengadakan musyawarah nasional
di Jakarta. Ada harapan bahwa musyawarah nasional yang pertama ini akan membawa
hasil tentang cara cara pemecahan riil maslah perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang dirasakan selama itu tidak adil. Para wakil dari dewan dewan daerah
tampaknya bersedia bekerjasama, tetapi setiap kali pertemuan selalu tidak
mencapai tujuan (selalu menemui jalan buntu). Pada masa pemerintahan kabinet
ini hubungan pemerintah pusat dengan daerah semakin tidak harmonis. Hal ini
terlihat dari mumculnya berbagai pergolakan di berbagai daerah yang berhubungan
dengan perimbangan perekonomian pusat dengan daerah. Adanya konsepsi presiden
tentang Konsep Ekonomi Nasional menambah ketegangan di daerah.
Perkembangan yang terjadi sangat tidak menguntungkan pemerintah RI.
Pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang berpokok
pada masalah ekonomi dan perimbangan keuangan Pusat dan daerah makin lama makin
meningkat.
B. Persaingan ( Ideologi, dan pergolakan sosial politik
terhadap kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an)
1.
Pemberontakan PRRI di
Sumatera Barat
Gerakan-gerakan di daerah yang menentang kebijakan
perimbangan ekonomi pusat dan daerah muncul pertama kali di Sumatera Barat,
dengan berdirinya Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Gerakan ini menuntut otonomi daerah kepada Pemerintah Pusat, serta
pergantian kabinet Djuanda. Menyusul Dewan Banteng, berdirilah beberapa
Dewan Militer diberbagai daerah, seperti :
1. Dewan Gajah (Medan) :Kolonel
M. Simbolon
2. Dewan Garuda (Palembang) :Kolonel Barlian
3. Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan) :Kolonel M. Basri
4. Dewan Manguni (Menado) :Kolonel Ventje Samuel
Letnan
Kolonel Ahmad Husein bersama dengan beberapa tokoh sipil yang lain seperti
Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara bahkan
mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat, bahwa dalam waktu 5 x 24 jam
P.M. Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan presiden diminta untuk
kembali kepada kedudukan semula sebagai presiden yang konstitusional.Menanggapi
berbagai gerakan ini, KSAD segera mengeluarkan larangan bagi para perwira untuk
berpolitik dan memberikan ultimatum akan memecat siapa saja yang terlibat gerakan
politik. Karena merasa tidak diindahkan oleh pemerintah pusat, Gerakan ini
semakin mempertegas sikapnya dengan mengumumkan berdirinya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia dibawah pimpinan Perdana Menteri Syafrudin
Prawiranegara pemerintahan. Gerakan ini
bertujuan bukan untuk memisahkan diri dari RI tetapi gerakan yang bersifat
menggantikan pemerintahan yang sah.[2]
Untuk menumpas gerakan ini pemerintah RI melaksanakan
beberapa operasi, yaitu :
1. Operasi Tegas ( mengamankan Riau ) dipimpin
oleh Letkol Kaharudin Nasution
2. Operasi 17 Agustus (mengamankan Sumatera barat ),
dipimpin oleh Kol. A Yani
3. Operasi Saptamarga ( mengamankan Sumatera Utara ) ,
dipimpin Brigjen Jatikusumo
4. Operasi Sadar ( mengamankan Sumatera Selatan )
dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.
Pada tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein berserta
pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun berakhir.
2. Piagam Perjuangan Semesta
Gerakan
daerah yang berlatarbelakang perimbangan ekonomi pusat dan daerah akhirnya
meluas ke Sulawesi. Dewan Manguni yang dipimpin oleh Letkol Ventje Samuel
mendukung PRRI dan mengumumkan berdirinya Permesta pada tanggal 2 Maret 1957.
Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara
adil ( daerah surplus mendapat 70% dari hasil ekspor ). Untuk menumpas gerakan ini pemerintah melaksanakan Operasi
Merdeka, yang merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat. Gerakan penumpasan Permesta merupakan operasi yang sangat sulit,
karena medan pertempuran sangat cocok dengan kondisi pemberontak, serta adanya
indikasi keterlibatan pihak asing (AS), yaitu dengan tertangkapnya pilot
helikopter Alan Pope (warga negara Amerika Serikat) yang berhasil ditembak
jatuh oleh pasukan TNI. Pada pertengahan tahun 1961 sisa sisa pemberontakan
Permesta menyerahkan diri dan memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke
tengah tengah masyarakat.
2. Peristiwa PKI di Madiun dan Cara Penanggulangan
Konflik Internal
Membahas tentang pemberontakan PKI di
Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948.
Mengapa kabinet Amir jatuh. Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya
dalam Perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia. Untuk merebut
kembali kedudukannya, Pada tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk
Front Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat basis massa, FDR membentuk
organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu dengan memancing bentrokan dengan
menghasut buruh. Puncaknya ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delanggu
(Jawa Tengah) pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso
tiba dari Moskow, Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat
organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru,PKI
banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta. Oleh PKI daerah Surakarta
dijadikan daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun dijadikan basis gerilya.
Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan
Soviet di Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang
berdasarkan
Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu yang
bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun. Untuk
menumpas pemberontakan PKI, pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal
ini peran Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping itu, Panglima Besar Jenderal
Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI
di Madiun. Dengan dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30 September
1948, kota Madiun berhasil direbut kembali oleh tentara Republik. Pada akhirnya
tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Cina dan Vietnam.
Sementara itu, tanggal 31 Oktober 1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang
ditangkap oleh pasukan Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah
Purwodadi Jawa Tengah. Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun, maka selamatlah
bangsa dan negara Indonesia dari rongrongan dan ancaman kaum komunis yang
bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penumpasan pemberontakan PKI dilakukan
oleh bangsa Indonesia sendiri, tanpa bantuan apa pun dan dari siapa pun. Dalam
kondisi bangsa yang begitu sulit itu, ternyata RI sanggup menumpas
pemberontakan yang relatif besar oleh golongan komunis dalam waktu singkat.
3. Peristiwa DI/TII dan Cara
Penanggulangannya
1. Pemberontakan DI/TII di
Jawa Barat
Pada tanggal 7
Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam
Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh
pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka
melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville. Usaha untuk menumpas
pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni :
a. Medannya berupa daerah pegunungan-pegunungan
sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII
untuk bergerilya,
b. Pasukan
Kartosuwiryo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat,
c. Pasukan
DI /TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain
pemilik-pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan.
d. Suasana
politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah
mempersulit usaha-usaha pemulihan keamanan.
e. Selanjutnya
dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas
gerombolan ini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan
operasi “Pagar Betis” dan operasi “Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni 1962 SM.
Kartosuwiryo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi
dalam operasi “Bratayudha” di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat.
Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati
sehingga pemberontakan DI/ TII di Jawa Barat dapat dipadamkan.
2. Pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah
Gerombolan DI/TII
ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul
pemberontakan yang didalangi oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan
Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas
pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat
yang disebut “Gerakan Banteng Negara” (GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini
(selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh Letnan
Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan “Banteng Raiders.”
Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari
DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang dipimpin oleh
Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat” atau Kyai
Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga
bulan. Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang
dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember
1951. Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi Merdeka
Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan
dan sisa- sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.
3. Pemberontakan
DI/TII di Aceh
Gerombolan DI/
TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh.
Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud
Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa
menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September
1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai gubernur militer menyatakan
bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM.
Kartosuwiryo. Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula
pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M.
Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember
1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan
tokohtokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat
dipadamkan.
4. Pemberontakan
DI/TII di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi
Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada
tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya
yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam
Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui
penyaringan. Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan
memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar
Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan
melakukan teror terhadap rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di
Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan operasi militer. Baru pada bulan
Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga
pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
5. Pemberontakan
DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan
Oktober 1950 DI/ TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang
dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan
menyerang pospos kesatuan TNI. Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut
pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan
untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah,
akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi.
Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959
Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.
4. Keadaan
politik, ekonomi, sosial, budaya sebelum G 30S/PKI
1.
Keadaan
Politik sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Dicannagan Nasakom
oleh pemerintah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, membuat paham komunis
tumbuh subur. Pengaruh PKI dalam bidang politik pun semakin luas, khususnya
dalam kebijakan pemerintah, baik kebijakan politik dalam negeri maupun luar
negeri/ pengaruh politik PKI pada masa Demokrasi Terpimpin antara lain sebagai
berikut :
a. Penempatan golongan komunis melalui konsep Nasakom (Nasionalisasi, Agama
dan Komunis)
b. Semua organisasi yang bersifat anti komunis
dibubarkan dan dituduh sebagai anti pemerintah
c. Dalam politik luar negeri, pemerintah
membentuk Poros Jakarta – PhnomPhenh – Hanoi – Beijing – Pyongyang. Poros ini
dibentuk pada Agustus tahunn 1965
d.Indonesia melaksanakan politik mercusuar, yaitu politik yang hanya
mengejar kemegahan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa
e.PKI berusaha menghancurkan lawan-lawan politiknya. Dengan kelicikannya,
PKI berhasil menghasut presiden Soekarno untuk mmbubarkan partai Murba,
Masyumi, dan PSI
f.Membagi kekuataan politik dunia menjadi Nefo (New Emerging Force) dan
Oldefo (Old Established Forces). Negara-negara yang sedang berkembang yang anti
terhadap imperialisme dan kolonialisme termasuk ke dalam Nefo. Sedangkan
negara-negara imperialis, kolonialis, dan kapitalis termasuk ke dalam Oldefo
g. Sejak tanggal 17 September 1963, melakukan
konfrontasi dengan Malaysia, yang disebabkan oleh adanya anggapan bahwa
Malaysia adalah negara proyek neokolonialisme (Nekolim) Inggris yang dapat
membahayakan revolusi Indonesia
h.Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965, hal ini
disebabkan karena dipilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB
2. Keadaan
Ekonomi sebelum terjadinya G 30 S/PKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia mengalami krisis konomi yang
amat parah. Untuk mengatasi krisis ini, pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah
melakukan devaluasi uang. Dengan devaluasi itu, uang kertas yang mempunyai
nominal Rp 500,00 tinggal menjadi Rp 50,00 dan uang bernilai Rp 1000,00
dihapuskan. Selain melakukan devaluasi uang, pemerintah juga melakukan
pembekuan semua simpanan yang melebihi Rp 25.000,00. Tetapi, tindakan
pemerintah ini tidak dapat menghentikna kemerosotan ekonomi Indonesia. Akibat
kemerosotan ekonomi yang semakin hari semakin dalam, pada tanggal 28 Maret 1963
pemerintah mengeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh
yang disebut dengan “Deklarasi Ekonomi” atau “Dekon”. Konsepsi “Dekon” ini
justru berakibat timbulnya stagnasi (kemandegan) ekonomi Indonesia.[3]
3. Keadaan
Sosial sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Keadaan sosial sebelum terjadi peristiwa G 30 S/PKI ditandai dengan
munculnya aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI dan pendukungnya. Aksi sepihak
ini terjadi di Bali, Jawa dan Sumatera Utara. Dalam aksi sepihak ini para
petani dan buruh perkebunan yang dibantu oleh para kader PKI dan para
pendukungnya memanfaatkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada masa
Demokrasi Terpimpin membuat pengaruh PKI menjadi semakin luas.
4. Keadaan
Budaya sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kegiatan-kegiatan seni budaya diatur oleh
pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan yang berbau Barat dianggap kebudayaan Nekolim
(Neo Kolonialisme) dan dilarang. Dalam usaha mempropagandakan tujuannya, PKI
membentuk LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan tokohnya juga mengecam
penertiban buku-buku, majalah, dan film yang dianggap berbau Barat. Alasdannya
buku-buku, majalah, dan film yang berbau Barat tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Untuk mengimbangi kegiatan PKI di bidang budaya, sekelompok
budayawan dan seniman pada tanggal 17 Agustus 1963 membentuk Manifesto
Kebudayaan (Manikebu) dan Badan Pendukung Surkanoisme (BPS). Tokoh-tokoh
Manikebu, antara lain H.B. Jassin,. Tetapi karena hasutan PKI, Manikebu ini
akhirnya dilarang oleh pemerintah. Manikebu dan PBS ini dituduh dibiayai oleh
CIA (Badan Intelegen Amerika Serikat).
5. Peristiwa G 30 S/PKI dan Cara
penanggulangannya
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno
sangat mengkhawatirkan., pada saat itu beliau sakit muntah muntah dan pingsan,
dan menurut team dokter dari Cina yang memeriksanya terdapat dua kemungkinan
dengan kondisi presiden, yaitu meninggal atau lumpuh. Diagnosa team dokter dari
Cina ini membuat para pimpinan PKI segera mnengambil sikap untuk secepatnya
melakukan gerakan sebelum akhirnya presiden meninggal.
Dimulai dari desa
Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB dini hari mereka
melakukan Gerakan penculikan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu
:
- Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution
- Menteri Panglima Angkatan Darat (MenPangad), Letnan Jenderal Ahmad yani
- Deputi II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto
- Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayor jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
- Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman
- Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus Panjaitan
- Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan darat, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Dalam
peristiwa penculikan, dari ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut
mengalami nasib yang tidak sama :
1. Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos
dari penculikan dengan meloncat pagar rumah Wakil Perdana Menteri III Dr. J.
Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun terpaksa menjadi korban
keganasan G 30 S / PKI : Ade Irma Suryani Nasution terkena peluru yang
ditembakkan oleh PKI. Beliau kemudian bersembunyi di tempat yang dirahasiakan,
dengan kondisi kedua kaki terluka.
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Brigadir
Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi meninggal setelah di tembak di
rumah beliau masing-masing.
3.Haryono M.T., Sutoyo Siswomihardjo, S. Parman dan
Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa Lubang Buaya.
4. Selain para perwira tinggi tersebut dan Ade irma Suryani,
terdapat korban lain keganasan gerombolan ini, yaitu :
a. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (ajudan
Waperdam III Dr. J. Leimena) yang tertembak mati, pada saat gerombolan
salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena, yang di kira rumah A.H. Nasution.
b. Letnan Satu Pierre Tendean (ajudan Jenderal AH
Nasution) yang ditangkap hidup - hidup karena di sangka sebagai Nasution.
c. Polisi Sukitman yang tertangkap secara tidak
sengaja pada saat meronda di sekitar Lubang Buaya. Tetapi berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 Oktober 1965 sore hari
terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel
Katamso dan Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono.
Pada tanggal 1 Oktober
1965, Mayor Jenderal Soeharto (Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat, karena nasib para pemimpin Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu
juga Mayjend. Soeharto menunjuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan RPKAD) sebagai
Komandan penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah
penumpasan di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjend. Suryo Sumpeno.
Sebagai komandan pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo adalah merebut kembali RRI Stasiun Pusat Jakarta yang telah berhasil
dikuasai gerombolan.
Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan Kol. Sarwo
Edhie melakukan penyisiran di sekitar Lapangan terbang Halim Perdana Kusuma,
karena dari daerah inilah (Lubang Buaya) pada tanggal 1 Oktober terdengar suara
suara gaduh dan tembakan. Kedatangan pasukan ini membuat gerombolan yang masih
berada di Lubang Buaya kalang kabut dan melarikan diri, meninggalkan Brigadir
Polisi Sukitman yang masih terikat di pohon. Berdasarkan petunjuk Brigadir Polisi Sukitman yang
berhasil lolos dari sekapan gerombolan, jenazah para perwira AD dapat ditemukan
pada tanggal 3 Okrtober 1965 dan dimakamkan di TMP Kalibata pada tanggal 5
Oktober 1965. Pada tanggal ini juga Ade Irma Suryani Nasution meninggal di
rumah sakit setelah koma sejak tanggal 1 Oktober 1965. Operasi penumpasan G 30
S berlangsung diberbagai daerah. Selain di jakarta dan Jawa Tengah, operasi
penumpasan juga dikembangkan untuk memburu para gembong penculikan sampai
daerah Blitar Selatan. Operasi Militer di Blitar Selatan diberi nama Operasi
trisula, sedangkan diperbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur diberi nama
Operasi Kikis. Operasi-operasi tersebut berhasil menangkap dan menembak
tokoh-tokoh G 30 S / PKI. Dalang utama G 30 S / PKI, D.N., Aidit tertembak mati
pada tanggal 24 Nopember 1965. Tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Merapi
yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk memburu gembong pemberontak
yang lari ke Jawa Tengah. Dalam operasi ini berhasil ditembak mati gembong-gembong
pemberontak, seperti : Kol. Sahirman, Kol. Maryono, Letkol Usman, Mayor Samadi,
Mayor RW Sakirno dan Kapten Sukarno.Sedangkan tokoh-tokoh yang tertangkap
hidup-hidup seperti Letkol Untung Sutopo, diadili dalam Mahkamah Militer Luar
Biasa (Mahmilub) pada tanggal 14 Pebruari 1966. [4]
DAFTAR PUSTAKA
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Tragedi-Nasional-PeristiwaMadiun-PKI,DI/TII,G30S/PKI,DanKonflik-konflik-Internal-Lainnya
[4] http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Tragedi-Nasional-PeristiwaMadiun-PKI,DI/TII,G30S/PKI,DanKonflik-konflik-Internal-Lainnya